Nasional, Jakarta - Koalisi Anti Persekusi membentuk Crisis Center untuk melindungi korban yang merasa dipersekusi, ditindas, diserang, diteror, dan ingin mendapatkan bantuan hukum.

Baca: Kasus Dokter Fiera di Solok, Polisi: Ada yang Coba Adu Domba

"Kami betul-betul merasa ada upaya mewaspadai persekusi ini, kalau tidak dihentikan akan lebih luas lagi terjadi di Indonesia," ujar Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), dalam konferensi pers, di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta, Kamis, 1 Juni 2017.

Baca: Video Seorang Remaja Alami Persekusi Tersebar di Media Sosial

Damar mengatakan hotline Crisis Center tersedia melalui telepon dan pesan singkat (SMS) ke nomor 081286938292, atau melalui email ke antipersekusi@gmail.com.

Baca: SAFEnet: Terdapat 59 Korban Persekusi Selama 2017

Koalisi Anti Persekusi terdiri dari sejumlah instansi dan lembaga di antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, SAFENET, LBH Pers, dan Perempuan Indonesia Anti Kekerasan.

Damar menuturkan pola yang ditemukan dalam persekusi beberapa waktu terakhir adalah memburu orang yang dianggap menghina agama atau ulama, membuka identitas, foto, alamat, kantor atau rumah orang tersebut dan menyebarkannya disertai dengan siar kebencian, lalu menginstruksikan untuk memburu target.

"Selanjutnya menggeruduk ke kantor atau rumah oleh massa, dan ada yang disertai ancaman dan kekerasan," ucapnya. Kemudian, Damar menuturkan korban persekusi dibawa ke kantor polisi untuk dilaporkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 156a KUHP.

Tahap selanjutnya dalam persekusi adalah menyuruh korban meminta maaf baik lisan atau melalui pernyataan, respon polisi yang beragam, hingga menetapkan korban sebagai tersangka, dan melihat proses tuntutan permintaan maaf.

"Jadi ini bukan main hakim sendiri, ada rangkaian sistematis," katanya. Berdasarkan data dari SAFENET, sejak 27 Januari 2017 hingga 31 Mei 2017 terdapat 59 orang korban persekusi, khususnya yaitu mereka yang dicap sebagai penista agama atau ulama.

Damar menjelaskan selain pola-pola tersebut, ditemukan pula adanya fakta pemalsuan akun media sosial korban. "Jadi sesungguhnya akun yang dianggap menghina ulama atau agama bukanlah akun yang dibuat oleh orang yang bersangkutan."

Menurut Damar, persekusi yang diwarnai perburuan terindikasi sebagai perbuatan yang sistematis atau meluas. Hal itu tampak dari cepatnya proses dalam menjangkau luasnya wilayah. "Misalnya dalam 1 hari bisa terjadi pada pola serupa di 6 wilayah di Indonesia yang saling berjauhan," ucapnya.

GHOIDA RAHMAH