Bisnis, Jakarta -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana menambah sistem pemantauan mutu udara daring di seluruh Indonesia. Hingga akhir tahun ini, empat kota di Kalimantan akan memiliki unit dengan nilai masing=masing Rp 2,5 miliar ini.

"Untuk memantau mutu udara, kami olah berbagai parameter pantau jadi indeks standar pencemaran udara. Kami juga membangun aplikasi pemantauan kualitas lingkungan berbasis web. Harapannya masyarakat bisa tahu kualitas udara yang menjadi haknya," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK MR Karliansyah lepas sebuah acara di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Juni 2017.

Pemerintah menargetkan akan ada jejaring 45 unit alat pemantau kualitas udara atau AQMS yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Sebanyak 3 unit telah rampung dibangun di Jambi, Palembang, dan Palangkaraya selama 2016. Sedangkan pada 2017 akan dipasang di 4 kota yakni Pontianak, Banjarmasin, Pekanbaru, Padang. Tahun 2018 nanti, pemasangan unit dipusatkan di 4 kota di Sulawesi, di antaranya Manado dan Makassar.

Unit AQMS yang selama ini sudah ada dihubungkan akan dihubungkan dengan sistem dari KLHK, untuk secara akumulatif dimasukkan dalam target tersebut.

Selama ini, beberapa pemerintah daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Utara membangun sendiri dengan biaya APBD. Pembiayaan AQMS sendiri, ujar Karliansyah, juga tak tertutup pada pembiayaan pemerintah. PT Chevron Pasific Indonesia sempat membantu pembangunan 5 alat pengukur Indeks Standar Pencemar Udara atau ISPU tersebut di Riau.

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago juga menjelaskan, bahwa sistem pemantauan kualitas udara seperti ini pernah dikembangkan kementeriannya pada 2009. "Pada saat itu ada kendala, instrumennya banyak tapi dibeli dari asing semua. Harga perbaikan satu alat sama dengan harga beli satu alat dalam negeri. Akhirnya diputuskan untuk membangun baru disini," ujar Dasrul. Ia melanjutkan, satu alat ASMQ buatan luar negeri dibanderol seharga Rp 7,5 miliar, sedangkan buatan dalam negeri besutan PT Trusur Unggul Teknusa bisa diboyong dengan Rp 2,5 miliar saja.

Jaja Ahmad Subarja, pendiri PT Trusur mengatakan ia mulai mengembangkan sistem pemantauan mutu udara daring setelah melihat berbelitnya penggunaan dan pemeliharaan di Indonesia. Pemda harus menunggu lama untuk mendatangkan unit berinvestasi besar ini dari luar negeri. Kebanyakan unit pabrikan Eropa pun tak ayal cepat rusak karena tak didesain sesuai iklim dalam negeri.

"Di Indonesia sendiri yang wilayahnya luas, pemasangan AQMS perlu penyesuaian teknologi dengan regulasi dan kebiasaan, satuannya berbeda," ujar Jaja. Kalibrasi ISPU yang digunakan KLHK, Pemda, maupun pihak swasta pada unit AQMS bisa memakan waktu hingga tiga tahun.

KLHK selama ini berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk menyuplai data tiap daerah, walaupun tak sekomprehensif dan selangsung AQMS.

Kini KLHK dan LAPAN juga tengah mengembangkan metode pemotretan kondisi ISPU Indonesia dengan pencitraan satelit. "Hasil hitungan akan dicocokan dengan data riil AQMS. Kalau seandainya itu mirip atau setara, data itu akan bisa diambil sebagai referensi," ujar Dasrul.

AGHNIADI | DEWI